LANCANG KUNING "TAK LAGI" BERLAYAR MALAM
sumber gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYOoYz_Sz-6s90QikM6Hkkz_RNPGK3u65YgupiMeCIezzK6KY-rjHOP3xFdKNKj0H-y3kfIemAeiqWuh335iJ7f81dm33d_vsXyM-SX92lRc9gl8QvDn3LV40C5-39Iqe5eWEFiWMGHWQ/s1600/Lancang+Kuning.jpg
di bumi lancang kuning, Riau. Lagu "lancang Kuning" merupakan sebuah lagu
rakyat yang sangat populer. bahkan di beberapa tempat lagu tersebut merupakan sebuah lagu yang wajib dinyanyikan setelah Indonesia Raya sebelum memulai sebuah acara (seminar dan sejenisnya). Dalam
sebuah versi sejarah melayu, kapal lancang kuning legendaris itu ternyata tenggelam di Tanjung Jati perairan Bengkalis. Tak terurai jelas apakah musibah itu akibat
human error ataukah karena keganasan alam yang tak teratasi oleh kemampuan
seorang anak manusia. sedangkan berita terbaru menyebutkan bahwa saat ini telah ditemukan dua keping papan yang diduga merupakan papan dari perahu "Lancang Kuning" di Perairan Pantai Nirwana Gardens Resort, Lagoi, Kecamatan Teluk Sebong.
tenggelam di bengkalis dan ditemukan bangkainya di Teluk Sebong, Bintan, wallahualam
tenggelam di bengkalis dan ditemukan bangkainya di Teluk Sebong, Bintan, wallahualam
Pesan lirik lagu iitu amat
gamblang, tidak ada yang tersembunyi.
salah satu baitnya berbunyi:
Kalau nakhoda
Kalau nakhoda kuranglah faham
Hai kuranglah faham...
Alamatlah kapal
Alamatlah kapal akan tenggelam...
lirik tersebut mengisyaratkan bahwa untuk melayarkan sebuah kapal, seorang
nahkoda haruslah faham. Filosofi kapal lancang kuning berlayar malam ini
agaknya menjadi salah satu dari sekian banyak untaian butir kearifan melayu yang
melintasi zaman dan mengandung dimensi universal.
Namun, kenapa perumpamaannya
sebuah kapal berlayar malam ? kenapa tidak sebuah kapal yang berlayar saja,
tidak pakai siang dan malam ? agaknya itu pulalah yang menandakan keberpahaman
orang-orang tua kita dulu, yang menciptakan syair lagu itu. Tentu tidak ada
kaitannya dengan kapal penyeludup atau kapal perompak, sebuah stigma negatif yang acap
kali diberikan pada masyarakat tradisional di kepulauan. Sebuah kapal yang
berlayar malam, dia tidak bersuluh benderang matahari, tetapi bersuluh
kunang-kunang bintang dilangit. Alpa membaca bintang alamatlah kapal akan
kehilangan arah tujuan. Alpa membaca karang, alamatlah kapal akan kandas. Alpa membaca
ombak alamatlah kapal akan tenggelam.
lalu, bagaiman dengan pemimpin kita sekarang ? bagaimana mereka memaknai lagu lancang kuning ? saya fikir masih sama, hanya saja beberapa liriknya yang berubah, sehingga cara memaknainya juga berbeda. lirik yang seharusnya berlayar malam menjadi berlayar siang, atau tetap berlayar malam namun tak lagi bersuluhkan bintang tetapi bersuluhkan lampu sorot dan sambil bermain gadget.
*sedikit adaptasi dari tulisan Kanda Chaidir tentang Kearifan Lancang Kuning dari bukunya Membaca Ombak
lalu, bagaiman dengan pemimpin kita sekarang ? bagaimana mereka memaknai lagu lancang kuning ? saya fikir masih sama, hanya saja beberapa liriknya yang berubah, sehingga cara memaknainya juga berbeda. lirik yang seharusnya berlayar malam menjadi berlayar siang, atau tetap berlayar malam namun tak lagi bersuluhkan bintang tetapi bersuluhkan lampu sorot dan sambil bermain gadget.
*sedikit adaptasi dari tulisan Kanda Chaidir tentang Kearifan Lancang Kuning dari bukunya Membaca Ombak
0 comments: