LANCANG KUNING "TAK LAGI" BERLAYAR MALAM

15:05:00 Unknown 0 Comments

sumber gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYOoYz_Sz-6s90QikM6Hkkz_RNPGK3u65YgupiMeCIezzK6KY-rjHOP3xFdKNKj0H-y3kfIemAeiqWuh335iJ7f81dm33d_vsXyM-SX92lRc9gl8QvDn3LV40C5-39Iqe5eWEFiWMGHWQ/s1600/Lancang+Kuning.jpg


di bumi lancang kuning, Riau. Lagu "lancang Kuning" merupakan sebuah lagu rakyat yang sangat populer. bahkan di beberapa tempat lagu tersebut merupakan sebuah lagu yang wajib dinyanyikan setelah Indonesia Raya sebelum memulai sebuah acara (seminar dan sejenisnya). Dalam sebuah versi sejarah melayu, kapal lancang kuning legendaris itu ternyata tenggelam di Tanjung Jati perairan Bengkalis. Tak terurai jelas apakah musibah itu akibat human error ataukah karena keganasan alam yang tak teratasi oleh kemampuan seorang anak manusia. sedangkan berita terbaru menyebutkan bahwa saat ini telah ditemukan dua keping papan yang diduga merupakan papan dari perahu "Lancang Kuning" di Perairan Pantai Nirwana Gardens Resort, Lagoi, Kecamatan Teluk Sebong.

tenggelam di bengkalis dan ditemukan bangkainya di Teluk Sebong, Bintan, wallahualam


Pesan lirik lagu iitu amat gamblang, tidak ada yang tersembunyi. 
salah satu baitnya berbunyi:

Kalau nakhoda

Kalau nakhoda kuranglah faham

Hai kuranglah faham...



Alamatlah kapal

Alamatlah kapal akan tenggelam...

lirik tersebut mengisyaratkan bahwa untuk melayarkan sebuah kapal, seorang nahkoda haruslah faham. Filosofi kapal lancang kuning berlayar malam ini agaknya menjadi salah satu dari sekian banyak untaian butir kearifan melayu yang melintasi zaman dan mengandung dimensi universal. 


Namun, kenapa perumpamaannya sebuah kapal berlayar malam ? kenapa tidak sebuah kapal yang berlayar saja, tidak pakai siang dan malam ? agaknya itu pulalah yang menandakan keberpahaman orang-orang tua kita dulu, yang menciptakan syair lagu itu. Tentu tidak ada kaitannya dengan kapal penyeludup atau kapal perompak, sebuah stigma negatif yang acap kali diberikan pada masyarakat tradisional di kepulauan. Sebuah kapal yang berlayar malam, dia tidak bersuluh benderang matahari, tetapi bersuluh kunang-kunang bintang dilangit. Alpa membaca bintang alamatlah kapal akan kehilangan arah tujuan. Alpa membaca karang, alamatlah kapal akan kandas. Alpa membaca ombak alamatlah kapal akan tenggelam.

lalu, bagaiman dengan pemimpin kita sekarang ? bagaimana mereka memaknai lagu lancang kuning ? saya fikir masih sama, hanya saja beberapa liriknya yang berubah, sehingga cara memaknainya juga berbeda. lirik yang seharusnya berlayar malam menjadi berlayar siang, atau tetap berlayar malam namun tak lagi bersuluhkan bintang tetapi bersuluhkan lampu sorot dan sambil bermain gadget.

*sedikit adaptasi dari tulisan Kanda Chaidir tentang Kearifan Lancang Kuning dari bukunya Membaca Ombak
 

0 comments: