FILM "UNTHINKABLE" DAN KONTRADIKSI PENYELESAIAN TERORISME GLOBAL

20:48:00 Unknown 1 Comments



sumber gambar: http://ravepad.com/page/unthinkable/images/view/11262565/size-3240-x-2175-pixels-filesize-2-79-MB


Film pada dasarnya memiliki dua sifat; fiksi dan non-fiksi. Film fiksi adalah bentuk film yang alur ceritanya bersifat imajinative, sementara Film non-fiksi itu berangkat dari fakta yang menjadi sumber cerita. Film Untinkable termasuk film Fiksi yang bergenre drama yang menceritakan tentang aksi terorisme di Amerika, tapi di balik daya imanjinasinya kita bisa mengambil banyak nilai-nilai kehidupan. Karena toh juga imajinasi bisa terbangun dari hasil penghayatan atas spektrum realitas sosial yang tertebar di masyarakat.
Harus diakui bahwa dewasa ini aksi teroris semakin berkembang pesat dan telah merambah seluru penjuru dunia tak terkecuali negara kita Republik Indonesia. Bila mengamati penyebaran aksi terorisme yang makin hari makin meluas, maka akan muncul rasa “bingung” yang berakhir dengan pertanyaan; kenapa aksi terorisme global terus saja berkembang? Apakah pelaku-pelaku (kelompok-kelompok) terorisme itu mampu memodifikasi gerakan dengan baik? Ataukah penanganan kasus terorisme yang mengalami stagnasi dan kemandekan strategi penanganan?
Paling tidak dengan mencermati film Unthinkable ini, kita akan mampu mendapatkan sedikit jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas. Karena film ini tidak hanya menyuguhkan cerita tentang aksi terorisme, tapi juga memotret realitas penanganan aksi terorisme yang semakin hari tidak menemukan muaranya. Hal ini yang menjadi alasan kami untuk membedah film Unthinkable.     

Resensi Film Unthinkbe

Film Unthinkable adalah jenis film yang bergenre drama. Film ini disutradai oleh Gregor Jordan dan dibintangi oleh Samuel L Jackson (Harold Harry Stampord/H), Michel Sheen (Yusuf Atta Mohammad) dan Carrie Anne Moss (Agen Helen).
Film Unthikable dimulai dengan cerita dimana Steven Arthur Younger seorang mantan anggota militer Amerika Serikat membuat video rekaman yang memberitaukan bahwa ia telah meletakkan tiga bom nuklir di tiga kota besar di Amerika. Video rekaman yang kemudian ia serahkan ke pihak media untuk disebarkan ke publik.
Steven Arthur Younger yang telah beralih menjadi Muslim kemudian berganti nama menjadi Yusuf Atta Muhammad. Yusuf merencanakan dengan sangat matang langkah-langkah yang akan ia tempuh untuk mensukseskan rencannya untuk menggoncangkan Amerika dengan tiga bom nuklir. Hal ini juga yang menjadi alasannya untuk menyerahkan diri ke pihak kepolisian setelah ia ditetapkan menjadi buronan Federal Biro Investigation (FBI). Ia mendatangi sebuah Mall di pusat kota dan berdiri tegak didepan kamera CCTV mall sampai beberapa petugas menangkapnya. Ia lalu dibawa ke gedung fasilitas militer yang keberadaannya dirahasiakan. 
Disinilah cerita unthinkable mulai menampakkan diri sebagai drama yang unthinkable. Sebuah cerita dengan alur yang cukup sulit untuk ditebak apa yang akan terjadi berikutnya. Seorang Yusuf yang fotonya terpampang diseluruh penjuru dunia sebagai tersangka teroris justru menampakkan dirinya dihadapan publik. Paling tidak ada dua alasan kenapa Yusuf memutuskan untuk menyerahkan diri ke pihak keamanan; pertama, ia ingin bertemu secara langsung dengan aparatur negara yang menangani kasus terorisme (FBI, CIA, dll). Ia ingin bertatap muka dengan orang-orang-yang dalam cara pandang Yusuf melihatnya-sebagai “penindas” negara-negara muslim. Kedua, langkahnya itu bisa dilihat sebagai strategi untuk mengelabui strategi FBI.
Cerita “tak terpikirkan” berikutnya dapat ditemukan dalam cara kerja Yusuf, dimana ia menjalankan misinya seorang diri, tidak seperti kebanyakan film yang menceritakan aksi teroris dengan cara kerja tim. Hal ini termungkinkan karena Yusuf memang seorang mantan anggota militer Amerika di bidang Persenjataan, khususnya senjata nuklir. Di Timur Tengah ia “bekerja sama” dengan Iran untuk membeli bahan Nuklir sebesar 3 pon dari Rusia.
Setelah penangkapannya, aparat keamanan melakaukan tugas interogasi dengan berbagai macam teknik, mulai dari cara halus dan beberapa cara harus ditempuh dengan kekerasan. Disini kita akan mendapatkan karakter introgasi yang berbanding terbalik antara FBI dengan Militer. FBI dengan agen Helen sebagai petugas interogator memilih cara yang lebih halus dalam melakukan tugasnya, tidak seperti H seorang “introgator ulung” dikalangan militer yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk membuka mulut seorang tersangka.
Tapi sebagai mantan anggota militer Amerika yang pernah bertugas di Timur Tengah, Yusuf dapat menjalani proses introgasi dengan tegar meskipun ia mengalami beberapa penyikasaan. Tapi proses penyiksaan tidak ditampilkan secara vulgar karena film unthinkable memang tidak bergenre keras, tapi lebih banyak memperlihatkan aspek “dialog” di sepanjang ceritanya. Sampai pada akhirnya ketegaran Yusuf luluh karena Keluarganya (istri dan kedua anaknya) dihadirkan di ruangan introgasi. Bahkan istrinya Jehan harus terbunuh, dan ketika kedua anaknya dimasukkan dalam ruangan introgasi ia pun luluh dan mengungkapkan keberadaan tiga bom tersebut. 

Film Unthinkable dan Kontradiksi Penanganan Terorisme Global
1.    Agama dan Spirit Terorisme
Suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa agama (Islam) selalu menjadi pihak tertuduh dalam setiap aksi terorisme. Terdapat banyak asumsi yang mengarah pada penilaian dimana Islam menjadi “landasan moral” untuk mengembangkan aksi teroris. Dan tidak mudah menegasikan asumsi tersebut karena pengalaman menunjukkan di banyak kasus terugkapnya aksi terorisme dan tertangkapnya aktor-aktor teroris hampir semuanya memakai peci dan jenggotan. Secara fisik itu menunjukkan bahwa aktornya adalah Muslim.  
Dalam film Unthinkable ini juga demikian adanya. Bila dicermati dari awal di saat Yusuf membuat rekaman dimana ia meletakkan bom-bom tersebut, ia terkesan gugup memulai tuntutannya. Sampai ia pada akhirnya muncul dengan wajah tenang setelah memakai peci dan memulai perkataannya dengan lebih dahulu menyebut nama Allah SWT dan Muhammad SAW. Tanpa bermaksud ikut menuduh Islam sebagai alasan dari aksi teror yang dilakukan Yusuf, tapi demikianlah adanya, dan tentunya masih terbuka ruang penafsiran yang jauh akan hal itu.
Bila ada pertanyaan kenapa agama selalu disangkut-pautkan dengan gerakan teroris, kami rasa jawabannya cukup jelas. Karena pelaku teror membutuhkan “kepastian” dari aksinya. Islam mengenal istilah Jihad untuk menamakan (baca; mengislamkan) aksi teroris dan memberikan kepastian kepada pelaku akan adanya kehidupan yang lebih baik yang akan di peroleh setelah kehidupan dunia bila seseorang mati di jalan Allah (Syahid). Dan di sisi lain, dengan menggunakan agama, kelompok akan mendapatkan kemudahan dalam memobilisasi anggota baru.  

2.      Metamorfosa Gerakan Terorisme
Kelompok terorisme harus diacungi jempol dalam hal mobilisasi massa. Bisa dikatakan keanggotaan terorisme itu “mati satu tumbuh seribu”. Terorisme seakan tidak pernah ada matinya dan akan terus berkembang. Pundi-pundi keanggotaannya juga dihuni oleh orang yang tidak biasa. Orang-orang didalamnya memiliki spesifikasi keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk melancarkan aksi-aksi mereka.
Dalam film Unthinkable, keberadaan Yusuf membuktikan hal diatas. Bahwa pada dasarnya Yusuf adalah seorang warga negara Amerika yang sangat loyal kepada negaranya. Ia juga merupakan anggota Militer Amerika yang memiliki kemampuan baik di bidang persenjataan nuklir. Dipercayakan negara untuk bertugas di Timur Tengah, ia lalu menjadi Mullaf dan balik menyerang negaranya sendiri. Dalam film ini memang tidak menunjukkan adanya doktrinasi kelompok teroris terhadap Yusuf, dan bila mencermati tuntutan-tuntutan Yusuf memunculkan kesan bahwa Yusuf melakukan aksinya atas kesadaran bahwa apa yang sebenarnya tengah ia lakukan di Timur Tengah (untuk memerangi teroris) hanyalah kamuflase dari usaha Amerika untuk menguasai sumber daya alam negara-egara muslim.
Disisi lain strategi Yusuf menunjukkan adanya metamorfosa yang baik di kalangan kelompok teroris. Penguasaan lapangan dan kematangan strategi menjadi kunci sukses Yusuf dalam mengelabui strategi penanganan terorisme. Ia meledakkan satu bom (non-Nuklir) di sebuah pusat perbelanjaan sebagai bukti bahwa memang bom-bom yang ia katakan benar adanya, menyerahkan tiga bom nuklir yang sebearnya ada empat bom, dan di detik akhir film ini bom pun meledak. Seorang introgator ulung bernama H pun harus mengakui bahwa apa yang ia akan lakukan itu “tak terpikirkan”.   

3.    Kontradiksi Penanganan Terorisme
Bahwa pasca tragedi peledakan gedung World Trade Centre (WTC) 9/11, Amerika adalah negara yang mendeklerasikan diri sebagai garda terdepan dalam pemberatasan aksi terorisme. Untuk merealisasikan ambisi itu maka Amerika dalam hal ini FBI harus memiliki strategi jitu untuk mematahkan langkah terorisme. Tapi dalam film ini menunjukkan adanya kontradiksi strategi dimana FBI (sebagai wakil pemerintah) justru menjadi pihak tertekan.
Diantara tekanan itu, a). Yusuf menekan dengan cara mengatur jarak waktu meledaknya bom hanya empat hari dari waktu tertangkapnya. Logikanya, dengan di letakkannya bom di tiga kota besar Amerika dengan tersisa hanya waktu empat hari untuk melacak keberadaan bom tersebut merupakan pekerjaan yang tidak mudah. b). Tekanan untuk FBI justru datang dari internal pemerintahan. Dimana FBI sebagai biro yang merasa memiliki wewenang penuh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri justru diambil alih oleh pihak Militer. Juga datang dari pemerintah pusat Amerika, Washington DC, yang memerintahkan penghalalan segala cara untuk membuka mulut Yusuf.
Yang muncul kemudian adalah persoalan otoritas dan sikap egosime masing-masing Agen/Biro Keamanan Amerika yang masing-masing mengklaim memiliki hak menangani kasus, dan meniadakan hak agen yang lain. Yang menurut kami itu adalah semacam “kontradiksi” dimana saat semua orang harus bekerjasama menangani kasus terorisme tapi yang muncul malah sikap gengsi-gengsian. Kontradiksi itu menunjukkan adanya “stagnasi strategi” yang membuat usaha penanganan terorisme menjadi tidak maksimal. Dan bila demikian adanya maka kelompok teroris akan semakin eksis dan di kemudian akan semakin banyak terpasang bom-bom yang meneror kenyamanan hidup manusia.    

Penutup                 

          Film Unthinkable harus diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya, karena ia memperlihatkan sisi obyektivitas dalam memotret realitas gerakan terorisme yang akan sangat jarang kita temukan di kebanyakan film-film lain yang juga menceritakan tentang hal yang sama.
          Aksi Terorisme memang perlu di letakkan sebagai “pemenang” dari awal hingga akhir film. Bukan justru hanya menampilkan dominasi kelompok teroris saat mempersiapkan aksinya yang pada akhirnya dapat di bongkar petugas penanganan teroris (FBI, CIA, DENSUS 88, dsb) dan bom dapat dijinakkan di detik-detik akhir. Itu menina-bobokkan kita bahwa seakan-akan teroris selalu bisa di kalahkan, padahal faktanya tidak demikian. Dari meledaknya gedung WTC (Amerika) hingga hotel JW Marriot dan Ricth Calrten (Indonesia) adalah bukti bahwa teroris selalu menjadi pemenang.   
oleh: Muhammad Ainun Najib, Taufiqurrahman, Isa Anshari



1 comment: