FILM "UNTHINKABLE" DAN KONTRADIKSI PENYELESAIAN TERORISME GLOBAL
sumber gambar: http://ravepad.com/page/unthinkable/images/view/11262565/size-3240-x-2175-pixels-filesize-2-79-MB
Film pada dasarnya memiliki dua sifat; fiksi dan non-fiksi. Film fiksi adalah bentuk film yang alur ceritanya bersifat imajinative, sementara Film non-fiksi itu berangkat dari fakta yang menjadi sumber cerita. Film Untinkable termasuk film Fiksi yang bergenre drama yang menceritakan tentang aksi terorisme di Amerika, tapi di balik daya imanjinasinya kita bisa mengambil banyak nilai-nilai kehidupan. Karena toh juga imajinasi bisa terbangun dari hasil penghayatan atas spektrum realitas sosial yang tertebar di masyarakat.
Harus diakui bahwa dewasa ini aksi teroris
semakin berkembang pesat dan telah merambah seluru penjuru dunia tak terkecuali
negara kita Republik Indonesia. Bila mengamati penyebaran aksi terorisme yang
makin hari makin meluas, maka akan muncul rasa “bingung” yang berakhir dengan
pertanyaan; kenapa aksi terorisme global terus saja berkembang? Apakah
pelaku-pelaku (kelompok-kelompok) terorisme itu mampu memodifikasi gerakan dengan
baik? Ataukah penanganan kasus terorisme yang mengalami stagnasi dan kemandekan
strategi penanganan?
Paling tidak dengan mencermati film
Unthinkable ini, kita akan mampu mendapatkan sedikit jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan diatas. Karena film ini tidak hanya menyuguhkan cerita
tentang aksi terorisme, tapi juga memotret realitas penanganan aksi terorisme
yang semakin hari tidak menemukan muaranya. Hal ini yang menjadi alasan kami
untuk membedah film Unthinkable.
Resensi Film Unthinkbe
Film Unthinkable adalah jenis film yang
bergenre drama. Film ini disutradai oleh Gregor Jordan dan dibintangi oleh
Samuel L Jackson (Harold Harry Stampord/H), Michel Sheen (Yusuf Atta Mohammad)
dan Carrie Anne Moss (Agen Helen).
Film Unthikable dimulai dengan cerita
dimana Steven Arthur Younger seorang mantan anggota militer Amerika Serikat
membuat video rekaman yang memberitaukan bahwa ia telah meletakkan tiga bom
nuklir di tiga kota besar di Amerika. Video rekaman yang kemudian ia serahkan
ke pihak media untuk disebarkan ke publik.
Steven Arthur Younger yang telah beralih menjadi Muslim kemudian berganti
nama menjadi Yusuf Atta Muhammad. Yusuf merencanakan dengan sangat matang
langkah-langkah yang akan ia tempuh untuk mensukseskan rencannya untuk
menggoncangkan Amerika dengan tiga bom nuklir. Hal ini juga yang menjadi
alasannya untuk menyerahkan diri ke pihak kepolisian setelah ia ditetapkan
menjadi buronan Federal Biro Investigation (FBI). Ia mendatangi sebuah Mall di
pusat kota dan berdiri tegak didepan kamera CCTV mall sampai beberapa petugas
menangkapnya. Ia lalu dibawa ke gedung fasilitas militer yang keberadaannya
dirahasiakan.
Disinilah cerita unthinkable mulai
menampakkan diri sebagai drama yang unthinkable. Sebuah cerita dengan alur yang
cukup sulit untuk ditebak apa yang akan terjadi berikutnya. Seorang Yusuf yang
fotonya terpampang diseluruh penjuru dunia sebagai tersangka teroris justru
menampakkan dirinya dihadapan publik. Paling tidak ada dua alasan kenapa Yusuf
memutuskan untuk menyerahkan diri ke pihak keamanan; pertama, ia ingin bertemu secara langsung dengan aparatur negara
yang menangani kasus terorisme (FBI, CIA, dll). Ia ingin bertatap muka dengan
orang-orang-yang dalam cara pandang Yusuf melihatnya-sebagai “penindas”
negara-negara muslim. Kedua,
langkahnya itu bisa dilihat sebagai strategi untuk mengelabui strategi FBI.
Cerita “tak terpikirkan” berikutnya dapat
ditemukan dalam cara kerja Yusuf, dimana ia menjalankan misinya seorang diri,
tidak seperti kebanyakan film yang menceritakan aksi teroris dengan cara kerja
tim. Hal ini termungkinkan karena Yusuf memang seorang mantan anggota militer
Amerika di bidang Persenjataan, khususnya senjata nuklir. Di Timur Tengah ia
“bekerja sama” dengan Iran untuk membeli bahan Nuklir sebesar 3 pon dari Rusia.
Setelah penangkapannya, aparat keamanan
melakaukan tugas interogasi dengan berbagai macam teknik, mulai dari cara halus
dan beberapa cara harus ditempuh dengan kekerasan. Disini kita akan mendapatkan
karakter introgasi yang berbanding terbalik antara FBI dengan Militer. FBI
dengan agen Helen sebagai petugas interogator memilih cara yang lebih halus
dalam melakukan tugasnya, tidak seperti H seorang “introgator ulung” dikalangan
militer yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk membuka mulut seorang tersangka.
Tapi sebagai mantan anggota militer
Amerika yang pernah bertugas di Timur Tengah, Yusuf dapat menjalani proses
introgasi dengan tegar meskipun ia mengalami beberapa penyikasaan. Tapi proses
penyiksaan tidak ditampilkan secara vulgar karena film unthinkable memang tidak
bergenre keras, tapi lebih banyak memperlihatkan aspek “dialog” di sepanjang
ceritanya. Sampai pada akhirnya ketegaran Yusuf luluh karena Keluarganya (istri
dan kedua anaknya) dihadirkan di ruangan introgasi. Bahkan istrinya Jehan harus
terbunuh, dan ketika kedua anaknya dimasukkan dalam ruangan introgasi ia pun
luluh dan mengungkapkan keberadaan tiga bom tersebut.
Film Unthinkable dan
Kontradiksi Penanganan Terorisme Global
1.
Agama dan Spirit Terorisme
Suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa agama (Islam) selalu menjadi
pihak tertuduh dalam setiap aksi terorisme. Terdapat banyak asumsi yang
mengarah pada penilaian dimana Islam menjadi “landasan moral” untuk
mengembangkan aksi teroris. Dan tidak mudah menegasikan asumsi tersebut karena
pengalaman menunjukkan di banyak
kasus terugkapnya aksi terorisme dan tertangkapnya aktor-aktor teroris hampir
semuanya memakai peci dan jenggotan. Secara fisik itu menunjukkan bahwa
aktornya adalah Muslim.
Dalam film Unthinkable ini juga demikian adanya.
Bila dicermati dari awal di saat Yusuf membuat rekaman dimana ia meletakkan
bom-bom tersebut, ia terkesan gugup memulai tuntutannya. Sampai ia pada
akhirnya muncul dengan wajah tenang setelah memakai peci dan memulai
perkataannya dengan lebih dahulu menyebut nama Allah SWT dan Muhammad SAW.
Tanpa bermaksud ikut menuduh Islam sebagai alasan dari aksi teror yang
dilakukan Yusuf, tapi demikianlah adanya, dan tentunya masih terbuka ruang
penafsiran yang jauh akan hal itu.
Bila ada pertanyaan kenapa agama selalu
disangkut-pautkan dengan gerakan teroris, kami rasa jawabannya cukup jelas.
Karena pelaku teror membutuhkan “kepastian” dari aksinya. Islam mengenal
istilah Jihad untuk menamakan (baca; mengislamkan) aksi teroris dan memberikan
kepastian kepada pelaku akan adanya kehidupan yang lebih baik yang akan di
peroleh setelah kehidupan dunia bila seseorang mati di jalan Allah (Syahid).
Dan di sisi lain, dengan menggunakan agama, kelompok akan mendapatkan kemudahan
dalam memobilisasi anggota baru.
2.
Metamorfosa Gerakan Terorisme
Kelompok terorisme harus diacungi jempol
dalam hal mobilisasi massa. Bisa dikatakan keanggotaan terorisme itu “mati satu
tumbuh seribu”. Terorisme seakan tidak pernah ada matinya dan akan terus
berkembang. Pundi-pundi keanggotaannya juga dihuni oleh orang yang tidak biasa.
Orang-orang didalamnya memiliki spesifikasi keahlian-keahlian yang dibutuhkan
untuk melancarkan aksi-aksi mereka.
Dalam film Unthinkable, keberadaan Yusuf
membuktikan hal diatas. Bahwa pada dasarnya Yusuf adalah seorang warga negara
Amerika yang sangat loyal kepada negaranya. Ia juga merupakan anggota Militer
Amerika yang memiliki kemampuan baik di bidang persenjataan nuklir.
Dipercayakan negara untuk bertugas di Timur Tengah, ia lalu menjadi Mullaf dan
balik menyerang negaranya sendiri. Dalam film ini memang tidak menunjukkan
adanya doktrinasi kelompok teroris terhadap Yusuf, dan bila mencermati
tuntutan-tuntutan Yusuf memunculkan kesan bahwa Yusuf melakukan aksinya atas
kesadaran bahwa apa yang sebenarnya tengah ia lakukan di Timur Tengah (untuk
memerangi teroris) hanyalah kamuflase dari usaha Amerika untuk menguasai sumber
daya alam negara-egara muslim.
Disisi lain strategi Yusuf menunjukkan
adanya metamorfosa yang baik di kalangan kelompok teroris. Penguasaan lapangan
dan kematangan strategi menjadi kunci sukses Yusuf dalam mengelabui strategi
penanganan terorisme. Ia meledakkan satu bom (non-Nuklir) di sebuah pusat
perbelanjaan sebagai bukti bahwa memang bom-bom yang ia katakan benar adanya,
menyerahkan tiga bom nuklir yang sebearnya ada empat bom, dan di detik akhir
film ini bom pun meledak. Seorang introgator ulung bernama H pun harus mengakui
bahwa apa yang ia akan lakukan itu “tak terpikirkan”.
3.
Kontradiksi Penanganan Terorisme
Bahwa pasca tragedi peledakan gedung World
Trade Centre (WTC) 9/11, Amerika adalah negara yang mendeklerasikan diri
sebagai garda terdepan dalam pemberatasan aksi terorisme. Untuk merealisasikan
ambisi itu maka Amerika dalam hal ini FBI harus memiliki strategi jitu untuk mematahkan
langkah terorisme. Tapi dalam film ini menunjukkan adanya kontradiksi strategi
dimana FBI (sebagai wakil pemerintah) justru menjadi pihak tertekan.
Diantara tekanan itu, a). Yusuf menekan dengan cara mengatur jarak waktu
meledaknya bom hanya empat hari dari waktu tertangkapnya. Logikanya, dengan di
letakkannya bom di tiga kota besar Amerika dengan tersisa hanya waktu empat
hari untuk melacak keberadaan bom tersebut merupakan pekerjaan yang tidak
mudah. b). Tekanan untuk FBI justru
datang dari internal pemerintahan. Dimana FBI sebagai biro yang merasa memiliki
wewenang penuh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri justru
diambil alih oleh pihak Militer. Juga datang dari pemerintah pusat Amerika,
Washington DC, yang memerintahkan penghalalan segala cara untuk membuka mulut
Yusuf.
Yang muncul kemudian adalah persoalan
otoritas dan sikap egosime masing-masing Agen/Biro Keamanan Amerika yang
masing-masing mengklaim memiliki hak menangani kasus, dan meniadakan hak agen
yang lain. Yang menurut kami itu adalah semacam “kontradiksi” dimana saat semua
orang harus bekerjasama menangani kasus terorisme tapi yang muncul malah sikap
gengsi-gengsian. Kontradiksi itu menunjukkan adanya “stagnasi strategi” yang
membuat usaha penanganan terorisme menjadi tidak maksimal. Dan bila demikian
adanya maka kelompok teroris akan semakin eksis dan di kemudian akan semakin
banyak terpasang bom-bom yang meneror kenyamanan hidup manusia.
Penutup
Film Unthinkable harus
diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya, karena ia memperlihatkan sisi
obyektivitas dalam memotret realitas gerakan terorisme yang akan sangat jarang
kita temukan di kebanyakan film-film lain yang juga menceritakan tentang hal
yang sama.
Aksi Terorisme memang perlu di letakkan sebagai “pemenang” dari awal hingga
akhir film. Bukan justru hanya menampilkan dominasi kelompok teroris saat
mempersiapkan aksinya yang pada akhirnya dapat di bongkar petugas penanganan
teroris (FBI, CIA, DENSUS 88, dsb) dan bom dapat dijinakkan di detik-detik
akhir. Itu menina-bobokkan kita bahwa seakan-akan teroris selalu bisa di
kalahkan, padahal faktanya tidak demikian. Dari meledaknya gedung WTC (Amerika)
hingga hotel JW Marriot dan Ricth Calrten (Indonesia) adalah bukti bahwa
teroris selalu menjadi pemenang.
oleh: Muhammad Ainun Najib, Taufiqurrahman, Isa Anshari
Ulasannya mantab, keren....
ReplyDelete